tabur bintang
Kamis, 30 September 2010
Profesor Smitt menemukannya tak sengaja
Profesor Smitt menemukannya tak sengaja, enam tahun lalu. Di tengah ribuan
situs sampah -- penuh 'chat' jorok dan omong kosong -- ia membaca sebuah
kata aneh dan mengkliknya. Ada gambar orang. Ada peta-peta.
Mulanya ia menduga itu semacam situs pengadaan orang pada suatu lokasi
entah di mana. Namun ketika layar menampilkan binatang, pohon-pohon,
bangunan asing dengan bahasa yang tak ia kenal, Profesor Smitt mulai
berpikiran lain. Dibetulkannya kacamata, didekatkannya wajah, tapi saat
itulah tiba-tiba gangguan arus.
Ia merutuk. Menyumpah-nyumpah. Saat arus kembali normal, ia lupa dengan
kata "aneh" itu. Sampai malam, sampai siang, sampai malam berikutnya ia
mencari, tapi tak ia temukan. Pada hari ketiga, Profesor Smitt menghubungi
rekan-rekannya. Ia terkejut karena ia bukan orang pertama. Dalam
bulan-bulan itu, telah puluhan kepala yang mencari. Bahkan ada yang kembali
menemukan tapi kemudian selalu dijawab: "File not found."
INDOKON, begitulah nama si "file not found". Mungkin itu nama suatu daerah,
atau suatu negeri, tapi Profesor Smitt dan rekan-rekannya sama tak yakin.
Berbulan-bulan, bertahun-tahun, mereka mencari dan berdiskusi. Mereka
keluar dari Web, membikin 'offline' khusus, agar jalur komunikasi di antara
mereka selalu berkesinambungan dan tak putus.
Lima tahun, dengan sangat banyak kebetulan, mereka mulai mengenal karakter
Indokon. Pertama: ia tak mungkin dicari dengan mesin pencari (baik mesin
pencari canggih semacam Vorex-py ataupun mesin pencari kuno semacam Yahoo),
karena Indokon selalu tampil dalam satu kata berimbuhan dengan sejumlah
kombinasi huruf yang unik dan tak terpecahkan. Kedua: Indokon, dalam
beberapa kebetulan lain, hampir selalu ditemukan dalam situs yang
berlawanan dan keduanya tampak memiliki ciri kembar saling melengkapi.
Ketiga: tiap usaha untuk mem-'printout', dengan program apa pun, selalu
hanya menghasilkan kombinasi tanda baca seperti titik, koma tanda petik
atau tanda tanya dalam konfigurasi berwujud burung atau entah hewan apa
yang bersayap.
Memasuki tahun ketujuh, Profesor Smitt berinisiatif membentuk sebuah tim
untuk memepelajari dan memecahkan bahasa dalam Indokon. Mereka berpedoman
pada gambar-gambar, denah-denah dan peta-peta dengan beberapa nama yang
mungkin merupakan wilayah atau kota-kota. Mereka akan mulai membuat
kesimpulan sementara, ketika Profesor Chamber, salah seorang rekan Profesor
Smitt, memperoleh temuan yang mengejutkan.
Pada awal abad ke-21, ada sebuah 'software' tua berseri bernama Windows.
Salah satu serinya pernah dirancang ulang karena praktek dagang monopoli
yang pengoperasiannya hanya bisa dilakukan dengan menggunakan perangkat
keras tertentu. Saat Profesor Chamber menggunakan sistem operasi semula
yang petunjuk pemrogramannya ia temukan pada sebuah situs kuno, ajaib,
salah satu file Indokon terbuka, dan bisa dibaca dalam bahasa
Inggris-Amerika.
Begini bunyinya:
Masyarakat Eropa abad pertengahan pernah sangat disibukkan oleh
pemikiran-pemikiran aneh tentang apa yang mereka sebut sebagai sistem
pemerintahan. Sejak Pharaoh Menes, Solon, sampai ke Montesquieu yang
paling depan dan belakang, tak satu pun sistem yang berkenaan dengan
kosmologi relatif tentang ruang, terutama karena ruang selalu
diumpamakan bagai balon udara yang tak bisa mengangkasa tanpa adanya
waktu. Akan tetapi, pada desimal akhir abad ke-20, ada sebuah negara
di timur yang sangat unik. Mereka membangun dengan menghancurkan diri.
Fisik mereka republik, tapi ruh kerajaan mereka pelihara sedemikian
rupa dengan menyediakan kaki dan tangan mereka sebagai makanannya.
Sangat singkat. Tapi seperti biasa, tentu ada Indokon lain pada situs
lawanan yang merupakan kembaran. Profesor Chamber, dan kini juga Profesor
Smitt dan rekan-rekan mereka, segera membubarkan tim bahasa dan bergegas
melacak situs lain -- dengan semangat dan harapan baru.
Pada minggu-minggu pertama, mereka menemukan setidaknya ada tiga orang yang
menulis 14 karangan dalam Indokon, tapi semuanya adalah tulisan ilmiah
tentang hukum dan tata negara dalam wacana filsafat dan tak satu tulisan
pun yang menerangkan tentang lokasi secara rinci. Namun, satu hal yang
pasti, mereka mulai yakin mereka memang tengah berhadapan dengan sebuah
negeri, atau negara, yang sama sekali tak ada dalam peta. Bahkan juga tidak
dalam ensiklopedi terlengkap mana pun.
Sampai akhirnya, datang suatu hari. Pagi, Profesor Smitt menghadap ke layar
dengan segelas kopi. Ia menjelajahi 'node' secara acak dan menemukan saatu
lagi "file Indokon". Cepat ia membuka. Dan terkejut.
Bukan tulisan ilmiah. Tapi sebuah laporan. Cepat ia membaca:
Aku mengenal negeri itu dari seorang kawan. Ia sebuah republik,
dengan aneka masyarakat adat yang ramah. Terdiri dari banyak pulau,
wilayah lautnya luas; tapi tanahnya yang subur, yang gembur, membuat
lautnya hanya bagai bagian dari sesuatu yang hampa, fana dan terlupa.
Selalu kawanku menganjurkan, agar aku berdagang ke sana. Bagi
penguasa negeri itu, orang asing yang berkunjung atau datang ke
negeri mereka dengan membawa uang dan berbungkah-bungkah emas,
adalah hal yang utama. Demi dan untuk sesuatu yang bernama 'investasi
asing', mereka rela menyediakan apa pun bagi tamunya.
Kata kawanku, itulah kelemahan mereka. Orang-orang, penduduk negeri
itu, adalah para pemalas. Mereka lebih senang orang asing menggarap
tanah mereka lalu mendapat bagian dari sana, daripada menyediakan
waktu untuk belajar untuk membangun potensi diri mengolah kekayaan
alam sendiri. Dan konyolnya, para penguasa, justru memetik keuntungan
dari kondisi ini.
Penguasa, baik juga disebut pemerintah, memiliki sebuah kata -- kata
suci -- yang mereka namakan 'pertumbuhan ekonomi'. Demi ekonomi, dan
demi pertumbuhan ini, mereka memiliki alasan untuk mengesampingkan
bidang lain semacam humaniora, pendidikan moral dan etika, terutama
karena kesadaran akan hal-hal semacam itu, tentu saja, bakal
menumbuhkan kebutuhan yang kompleks pada harga dan kualitas manusia.
Setiap waktu, di setiap kesempatan, mereka, para penguasa, selalu
memompakan soal pertumbuhan. Mereka katakan, dengan adanya
pertumbuhan, persoalan yang kemudian akan sangat mudah adalah
memeratakan. Maka yang kemudian terjadi, para penguasa menjelma juga
sebagai pengusaha. Tak heran bila penguasa tertinggi -- presiden
yang sehari-harinya lebih berlaku serupa raja -- adalah pengusaha
yang sangat sukses bersama keluarganya, sanak, dan segenap familinya.
Para pengusaha ini, yang jumlahnya tentu saja tak seberapa, menguasai
seluruh sektor produksi vital yang dibutuhkan oleh sangat banyak
penduduk. Dalam hanya beberapa tahun, para pengusaha yang penguasa
ini telah menjelma jadi orang-orang yang sangat kaya, hanya dengan
memiliki saham-saham kosong yang diberikan para investor asing yang
membangun usaha di negeri mereka.
"Datanglah ke negeri kami."
"Negeri terindah, ternyaman, dan teraman untuk berusaha."
"Kalau Anda punya kemampuan, akan selalu kami sediakan lahan."
"Bila Anda menemukan sebuah tempat di mana segalanya sangat murah,
itulah negeri kami."
"Pernahkan Anda melihat sorga yang begitu nyata di dunia?"
Begitulah, kata kawanku, contoh-contoh kalimat undangan yang
dikirimkan oleh para penguasa negeri itu ke mana-mana. Dan untuk
menciptakan keamanan dan kenyamanan, para penguasa pun mulai
memompakan kata suci lain yang mereka namakan 'kestabilan'.
Begitulah kestabilan menjadi sesuatu yang tidak boleh tidak.
Dan pertumbuhan, yang makin hari makin mempertajam perbedaan
antara si kaya dan si miskin, telah menimbulkan gejolak sosial di
negeri itu. Mulanya hanya di daerah-daerah utama, tapi kemudian
merambat ke daerah-daerah kecil. Mulanya hanya kebencian dan
umpatan-umpatan kotor, tapi entah tahun berapa tepatnya, orang-
orang miskin mulai membuat kerusuhan dan akhirnya bahkan berani
menjarah.
Pihak penguasa dan tentu juga pengusaha, entah nurani mereka
memang telah tumpul atau buta, tak juga memahami kondisi yang
sebenarnya. Daripada menahan diri dan membagi kesempatan kepada
yang lain, mereka lebih senang memilih jalan pintas dengan
memberdayakan tentara. Maka setiap hari, setiap waktu selalu
terdengar ada penduduk yang diculik, lenyap beberapa saat, kemudian
ditemukan telah jadi mayat. Sementara, agar investasi asing tetap
masuk, mereka kian gencar berkoar, "Negeri kami adalah negeri yang
aman, nyaman, dan stabilitasnya selalu terjaga."
Semakin hari, semakin banyak rakyat yang mati. Berbulan-bulan,
bertahun-tahun kemudian, orang hilang dan mayat di mana-mana bukan
lagi merupakan hal yang luar biasa. Dan ketika suatu hari aku
mengutarakan niatku ingin berkunjung ke negeri itu untuk bermain-
main saja, bersenang-senang saja, kawanku segera menukas:
"Buat apa? Di sana, kini hanya ada bentangan tulang, bukit
tengkorak, dan burung-burung hitam dari jenis gagak."
Terakhir, saat kadang aku ingin melihat bagaimana (pemandangan)
matahari senja -- yang merah -- jatuh di hamparan belulang,
kudengar kabar negeri itu telah menjelma jadi laguna. Lautnya yang
luas, yang mereka anggap hampa dan fana, telah menunjukkan
kebesarannya, kekuatan ajaib yang tak tertara.
Profesor Smitt tertegun. Lama ia terpaku, sampai tiba-tiba terdengar nada
panggil yang panjang di jalur 'offline'.
Profesor Chamber: Ada gambar aneh persegi panjang. Di bawahnya, tertulis
selarik pesan:
Negeri itu memang ada. Lihatkah, aku temukan mata uangnya.
Mata uang? Profesor Smitt segera memperbesar gambar. Didekatkannya wajah,
memperhatikan gambar persegi panjang itu dengan teliti. Memang mata uang.
Lengkap dengan benang pengaman dan cap air. Pada pojok kanan bagian depan,
terpajang seraut wajah. Wajah lembut sangat ramah, dengan senyum yang
begitu tulus. Aneh, benarkah wajah ini -- demikian lugu dan sangat polos --
wajah presiden mereka?
Di bagian lain, ada nominal harga dan nama si mata uang. Bagaimana cara
melafalkannya? "Rupeieh" atau "rapaiah"?***
Payakumbuh, Juli 1998.
[KOMPAS, Minggu 2/8]
Label:
Profesor Smitt
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar